Dwi Angga: Metafora Warna sebagai Simbol Perlawanan Gen Z di Dunia Digital
Jatim Rasionews.com Bondowoso – Fenomena politik di era digital mengalami pergeseran menarik. Generasi Z kini tak lagi hanya berbicara lewat orasi di jalanan atau pernyataan panjang di ruang formal, tetapi melalui bahasa visual yang sederhana namun sarat makna: warna. Hal ini diungkapkan oleh Dwi Angga Septianingrum, S.Pd, M.Pd, seorang pemerhati bahasa dan analis media sosial, dalam wawancara eksklusif terkait tren penggunaan warna dalam gerakan politik generasi muda (4/9/2925).
Menurut Dwi Angga, warna kini menjadi bahasa politik baru yang mudah dipahami dan cepat viral di media sosial. Ia menyebut fenomena ini tampak jelas dalam aksi serentak generasi Z yang mengganti foto profil mereka dengan latar pink, hijau, atau hitam.
Pink dan hijau muncul sebagai simbol solidaritas dan harapan. Sedangkan hitam mendominasi gerakan “Dark Indonesia” yang mencerminkan penolakan dan keresahan terhadap kebijakan pemerintah, khususnya dalam bidang pendidikan.
“Media sosial memberi ruang bagi generasi muda untuk mengekspresikan sikap politik dengan cara yang sesuai dengan gaya komunikasi mereka. Warna yang mereka pilih bukan sekadar estetika, tetapi pesan yang sarat emosi dan makna politik,” jelas Dwi Angga.
Fenomena warna pink dipicu oleh viralnya aksi seorang ibu berhijab pink yang menghadang aparat kepolisian hanya dengan membawa sapu. Aksi ini menjadi simbol kelembutan yang bertransformasi menjadi keberanian moral.
- Advertisement -
“Pink kini menjadi lambang solidaritas rakyat kecil. Ketika seseorang mengganti foto profilnya menjadi pink, ia sedang menyatakan keberanian untuk melawan ketidakadilan,” ujar Dwi Angga.
Sementara itu, hijau hadir dari tragedi seorang driver ojek online yang motornya terlindas kendaraan taktis polisi saat ia tengah bekerja. Kejadian ini viral dan mengubah hijau menjadi simbol ganda, melambangkan harapan masa depan, sekaligus penderitaan rakyat kecil yang terdampak kekacauan politik meski mereka tidak terlibat langsung dalam aksi demonstrasi.
“Hijau mengingatkan kita bahwa politik memengaruhi kehidupan orang biasa, bahkan yang sama sekali tidak ikut dalam arena politik formal,” kata Dwi Angga.
- Advertisement -
Berbeda dengan pink dan hijau, gerakan Dark Indonesia memilih hitam sebagai tanda perlawanan. Bagi generasi muda, hitam merepresentasikan ketakutan, ketidakpastian, dan keresahan terhadap masa depan yang dianggap suram karena kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat.
“Hitam adalah peringatan keras. Generasi Z ingin menunjukkan bahwa mereka resah dan tidak setuju dengan arah kebijakan yang mengancam pendidikan dan kesejahteraan publik,” tegas Dwi Angga.
Dwi Angga menghubungkan fenomena ini dengan teori psikologi warna Goethe dan Eva Heller, yang menjelaskan bahwa warna memiliki daya afektif yang mampu memunculkan perasaan tertentu.
Dalam konteks politik digital, Pink merepresentasikan solidaritas dan keberanian,. Hijau melambangkan harapan dan luka. Hitam menunjukkan penolakan dan keresahan.
Pertentangan ketiga warna ini disebut oposisi simbolik, yang mencerminkan konflik batin generasi muda: antara optimisme dan kecemasan terhadap masa depan bangsa.
Meskipun gerakan ini kreatif dan efektif, Dwi Angga mengingatkan adanya risiko jika perlawanan hanya berhenti pada tataran simbolis.
“Mengganti foto profil hanyalah langkah awal. Tantangan terbesar adalah bagaimana solidaritas digital ini berkembang menjadi aksi nyata yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Ia menambahkan, fenomena ini merupakan cerminan dari saluran politik formal yang tidak berjalan dengan baik. Ketika ruang demokrasi tersumbat, generasi muda mencari cara baru untuk bersuara melalui bahasa simbolik warna.
“Jika kita cukup peka membaca simbol ini, kita akan memahami keresahan generasi muda. Warna-warna ini bukan hanya estetika digital, tetapi tanda bahwa demokrasi kita sedang diuji,” tutup Dwi Angga.
(Syaiful khamisi)