Jatim.Rasionews.com |SEMARANG, Pagi itu, hiruk-pikuk di Pengadilan Negeri Semarang tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Para pencari keadilan duduk menunggu nama mereka dipanggil. Namun di antara keramaian itu, hadir seorang lelaki tua yang tampak mencolok dalam kesederhanaannya: rambut putih, batik lusuh, kopiah yang mulai memudar, dan selembar surat pengaduan yang digenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan hidup.
Dialah Sastro Wijoyo, 74 tahun, seorang pensiunan pegawai harian yang datang bukan untuk memperjuangkan harta atau membela hak waris, melainkan sesuatu yang jauh lebih halus dan rapuh: perasaan rindunya pada sang anak.

*Gugatan yang Menggetarkan Ruang Sidang*
“Bapak Sastro Wijoyo?” panggil petugas.
Dengan langkah tertatih, lelaki tua itu masuk ke ruang sidang. Ketika Hakim Ketua membuka berkas gugatannya, majelis sempat mengernyit heran.
- Advertisement -
“Bapak menggugat siapa?,” tanya sang Hakim.
“Anak saya sendiri, Pak Hakim. Arya Satria Wijoyo,” jawabnya.
Jawaban itu membuat ruangan hening. Gugatan anak terhadap orang tua bukan hal asing. Tapi orang tua menggugat anak, sempat membuat hakim saling bertukar pandang.
- Advertisement -
Namun yang lebih mengherankan adalah isi tuntutannya.
“Saya minta nafkah lima puluh ribu rupiah sebulan. Diserahkan langsung oleh dia. Itu saja,” ujar Pak Sastro kepada Hakim.
Lima puluh ribu rupiah. Angka yang bahkan tak cukup untuk ongkos ojek sekali jalan di kota besar.
*Datangnya Sang Anak, Terjawabnya Sebuah Teka-Teki*
Beberapa hari kemudian, sidang kedua dihadiri Arya Satria, 42 tahun. Penampilannya rapi, wajahnya tegang. Ketika hakim bertanya mengapa ayahnya meminta nafkah, ia menjawab dengan kebingungan yang tulus.
“Pak Hakim, Bapak tidak kekurangan. Beliau punya rumah besar, sawah, kios. Kenapa minta uang?” jawab sang Anak.
Hakim menoleh pada Pak Sastro yang duduk diam.
“Saya memang mampu, Pak Hakim. Saya tidak butuh uangnya,” kata sang Bapak lirih.
“Lalu apa yang Bapak butuhkan?” tanya Hakim Ketua.
Pertanyaan itu disambut keheningan panjang. Pak Sastro akhirnya angkat suara, kali ini dengan suara bergetar yang membuat seluruh ruangan menahan napas.
“Saya cuma ingin anak saya datang, Pak Hakim. Walau cuma sebulan sekali. Walau cuma lima menit. Uang lima puluh ribu itu hanya alasan, supaya dia punya waktu untuk menemui saya,” ungkap sang Bapak.
Air mata mulai jatuh, satu per satu.
“Saya kangen, Pak. Sudah setahun lebih dia tidak pulang. Rumah kami hanya beda kecamatan, tapi rasanya seperti beda dunia,” ucap Pak Sastro.
Pengunjung sidang mulai terdengar terisak. Hakim Ketua menutup mulutnya sebentar untuk menahan haru.
*Putusan yang Membuka Luka Keluarga*
Setelah mendengar keterangan kedua pihak, majelis menjatuhkan putusan: Arya diwajibkan memberikan nafkah Rp50.000 setiap bulan, diserahkan langsung dari tangan ke tangan pada tanggal 5, seumur hidup ayahnya.
Namun sebelum sidang ditutup, hakim kembali bertanya.
“Pak Sastro, kenapa tidak bilang sejak awal bahwa Bapak hanya ingin ditemui?” tanya sang Hakim.
Pak Sastro menunduk, mengusap air matanya.
“Saya tidak ingin menyusahkan anak saya. Saya hanya ingin dia ingat, bahwa bapaknya masih hidup. Masih menunggu,” jawabnya.
Kala itu, Arya tak sanggup menahan rasa bersalah. Ia berlutut, memeluk kaki ayahnya.
“Maafkan saya, Pak…” ujar sang Anak.
Pak Sastro membelai kepala anaknya, tersenyum kecil di balik wajah yang telah basah oleh air mata.
“Kamu tidak salah, Le… Bapak cuma kangen,” kata sang Ayah.
*Pelajaran Sunyi dari Seorang Lelaki Tua*
Setelah sidang ditutup, ketiga hakim tampak menahan haru. Ketua Majelis berbisik pada rekannya:
“Semoga anak-anak kita tidak perlu ada putusan pengadilan, untuk ingat pada orang tuanya.”
Kisah di ruang sidang itu mengalir di luar batas hukum. Ia menyentuh ruang yang tak dijangkau oleh pasal-pasal, ruang rindu. Ruang sepi yang dialami banyak orang tua yang perlahan dilupakan oleh anak-anak mereka sendiri.
Karena kadang yang paling mahal bukan uang, melainkan waktu.
Dan yang paling menyakitkan bukan kemiskinan, melainkan dilupakan oleh orang yang kita cintai.
Kisah Pak Sastro menjadi pengingat bahwa di balik gugatan hukum, selalu ada hati yang diam-diam merindukan pelukan, perhatian, dan kehadiran. Di Pengadilan Negeri Semarang pagi itu, air mata yang jatuh bukanlah tanda kemenangan atau kekalahan, melainkan ungkapan rindu seorang ayah yang terlalu lama menunggu.
Momen haru itu diceritakan kembali oleh pendamping hukumnya, Dr. Zaibi Susanto, S.H., M.H., yang mendampingi proses gugatan hingga putusan dibacakan. Menurutnya, perkara ini bukan sekadar sengketa keluarga, melainkan potret sunyi tentang hubungan orang tua dan anak yang perlahan renggang oleh kesibukan dan jarak emosional.
“Bapak Sastro tidak memperjuangkan uang. Beliau memperjuangkan kesempatan untuk bertemu anaknya,” ujar Dr. Zaibi.
“Kadang orang tua hanya butuh alasan kecil agar anaknya pulang. Dan lima puluh ribu rupiah itu, menjadi jembatan sederhana untuk sebuah pertemuan,” tutur Zaibi menutup ceritanya.
Kisah ini menegaskan satu hal: bahwa dalam banyak kasus keluarga, yang dipersoalkan bukan materi, tetapi kerinduan yang tak terucapkan. Dan pagi itu, di ruang sidang yang biasanya dipenuhi debat dan argumentasi hukum, rindu justru menjadi bahasa yang paling lantang terdengar. (rag/bp-bwi)
Pewarta: Supartono.




