Jatim.Rasionews.com ll Hari ini, ratusan emak-emak di Banyuwangi melakukan aksi ke DPRD, menyuarakan keresahan mereka terkait praktik “Bank Plecit” yang semakin marak. Kalau belum tahu, “Bank Plecit” itu adalah istilah yang digunakan untuk menyebut praktik pinjaman ilegal yang dilakukan oleh rentenir atau “koperasi” bodong. Masalahnya bukan hanya bunga yang sangat tinggi, tetapi juga cara penagihannya yang seringkali kasar dan nggak manusiawi. Nah, ini yang bikin banyak orang di Banyuwangi merasa resah dan takut, terutama mereka yang terpaksa meminjam uang karena kebutuhan mendesak.
Sebenarnya, praktik seperti ini jelas melanggar hukum, lho. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sudah mengatur agar setiap konsumen dilindungi dari praktik usaha yang merugikan, termasuk dalam hal peminjaman uang. Jadi, kalau ada orang yang memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi atau cara penagihan yang kasar, jelas itu melanggar hak konsumen. Di sisi lain, kita juga punya Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2023 Tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Kalau koperasi atau lembaga keuangan lainnya terlibat dalam praktik peminjaman dengan bunga eksesif, itu sudah jelas menyalahi aturan yang ada.
Kenapa praktik ini bisa berkembang? Salah satu alasan utamanya adalah karena banyak orang, terutama mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah, kesulitan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan yang sah. Bank atau lembaga keuangan formal sering kali memberikan syarat yang ribet dan proses yang lama. Akhirnya, mereka lebih memilih untuk meminjam uang ke tempat yang lebih cepat, meskipun resikonya sangat besar. Padahal, di balik itu semua, mereka bisa saja dijebak dalam jeratan utang yang nggak berujung, dengan bunga yang mencekik.
Padahal, kalau kita lihat dari sisi hukum, pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi dan cara penagihan yang kasar itu bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Pasal 1320 dan 1337 KUH Perdata jelas menyebutkan bahwa perjanjian harus memenuhi unsur kesepakatan, kecakapan, objek yang jelas, dan tidak melanggar hukum. Kalau sudah ada unsur paksaan, seperti intimidasi dalam penagihan, itu jelas melanggar prinsip-prinsip kontrak yang sah. Bahkan, dalam KUHP, Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 378 tentang penipuan bisa dikenakan kepada para pelaku yang menggunakan ancaman atau tipu daya untuk menagih utang.
Solusinya gimana? Tentu saja, penegakan hukum harus lebih tegas. Praktik-praktik ilegal seperti ini harus segera diberantas dengan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu lebih gencar mengawasi “koperasi-koperasi” yang beroperasi tanpa izin dan mengatasi masalah transparansi dalam pemberian pinjaman. Selain itu, pendidikan literasi keuangan sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang cara pinjam-meminjam yang sah, serta bagaimana memilih koperasi atau lembaga keuangan yang tepat agar terhindar dari jeratan rentenir.
- Advertisement -
Pada hakekatnya asas koperasi itu adalah asas kekeluargaan alias gotong royong, dimana dari anggota untuk anggota, namun kadang praktek yang dilakukan oknum petugas tagih utang terkadang sangat meresahkan nasabah atau anggotanya dengan memakai kekerasan psikis hingga merampas barang milik nasabah seperti Hp, Tabung gas maupun barang yang lain, tindakan ini sebenarnya tidak dibenarkan oleh hukum.
Aksi emak-emak Banyuwangi ini sebenarnya adalah bentuk dari harapan agar masalah ini bisa diselesaikan. Mereka percaya bahwa DPRD bisa menyuarakan aspirasi mereka dan mendorong kebijakan yang lebih tegas dalam menanggulangi praktik-praktik ilegal ini. Kalau kita bisa menciptakan sistem keuangan yang lebih adil dan transparan, dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap koperasi dan lembaga pinjaman, maka masyarakat nggak akan lagi terjebak dalam praktek “Bank Plecit” yang merugikan ini.
Jadi, sudah saatnya kita bersama-sama mendukung langkah-langkah yang lebih konkret dan tegas untuk memberantas praktik rentenir ilegal, supaya masyarakat bisa terlindungi dan terhindar dari praktik yang merugikan.
- Advertisement -
Opini ini Ditulis Oleh Ari Bagus Pranata
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum
Pewarta: Agus.