Jatim.Rasionews.com|JEMBER – Di tengah semangat partisipasi orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan, publik kembali mempertanyakan batas antara sumbangan sukarela dan pungutan liar (pungli) di sekolah negeri.
Kasus terbaru muncul di SMP Negeri 2 Jember, setelah beredar notulensi rapat Paguyuban Orang Tua Siswa bertanggal Rabu Lalu, 13 Agustus 2025, yang berisi kesepakatan pengumpulan dana ISPOS (Iuran Sumbangan Partisipasi Orang Tua Siswa) sebesar Rp85.000 per bulan untuk tahun ajaran 2025–2026.
Dalam notulensi itu, disebutkan bahwa ISPOS dibentuk dengan tujuan mendukung peningkatan mutu pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, serta menjamin keamanan dan kenyamanan siswa.
Dana digunakan untuk membayar Guru Tidak Tetap (GTT), petugas kebersihan, satpam, dan pelatih kegiatan ekstrakurikuler.
- Advertisement -
Sistem setoran dilakukan melalui Bendahara Kelas sebelum tanggal 10 setiap bulan, untuk periode Juli 2025 hingga Juni 2026.
Karena Korlas (Koordinator Kelas) baru terbentuk pada bulan Agustus, maka iuran bulan Juli dan Agustus disetorkan bersamaan pada bulan Agustus 2025.
Pihak paguyuban mengklaim kegiatan ini berlandaskan asas kebersamaan dan kekeluargaan, dengan semboyan.“Dari orang tua, oleh orang tua, dan untuk anak-anak kita.”
- Advertisement -
Namun di balik narasi gotong royong itu, muncul pertanyaan tajam dari masyarakat:
apakah kebijakan ISPOS benar-benar bersifat sukarela, atau justru menyamarkan pungutan wajib di sekolah negeri yang dibiayai negara?
Menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, sekolah negeri dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua, kecuali berupa sumbangan sukarela yang tidak ditentukan jumlah maupun waktunya.
Jika nominal dan jadwal pembayaran ditetapkan, maka secara hukum berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli).
Beberapa wali murid mengaku merasa tidak nyaman jika iuran dianggap wajib.
“Kalau tidak bayar, nanti dibilang tidak mendukung kegiatan sekolah,” ujar salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kondisi ini menimbulkan abu-abu hukum dan etika dalam praktik sumbangan di sekolah negeri, yang semestinya sudah dibiayai oleh BOS dan APBD.
Menanggapi hal itu, Kepala Sekolah SMPN 2 Jember, Udik Kristyono, S.Pd., M.M., menegaskan bahwa persoalan tersebut sudah pernah ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jember dan dinyatakan selesai.
“Itu sudah lama dan sudah dilaporkan di kejaksaan. Sudah selesai,”ujar Kepala Sekolah saat dikonfirmasi, Kamis (06/11/2025).
Ia menegaskan bahwa sekolah tidak melakukan pemungutan, melainkan hanya mengelola dana BOS.
“Sudah clear, itu kegiatan wali murid dan yang mengelola juga wali murid. Sekolah tidak memungut, pertanggungjawabannya juga mereka sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, pihak kejaksaan juga telah memanggil pengurus paguyuban, kepala sekolah, dan bendahara, dan hasilnya dinyatakan tidak ada pelanggaran.
“Coba jenengan ke paguyuban langsung yang tahu lebih detail,” tambahnya.
Meski Kepala Sekolah menyatakan kasus sudah selesai, publik masih menunggu kejelasan administratif atas laporan ke Kejaksaan Negeri Jember.
Apakah benar telah ada surat penghentian perkara atau hasil pemeriksaan resmi?
Tanpa transparansi tersebut, pernyataan “sudah selesai” dinilai belum cukup menjawab pertanyaan mendasar:
apakah praktik serupa masih berlangsung, dan apakah sifatnya benar-benar sukarela?
Tim.




